Nusantaratv.com-Cinta terkadang memang sulit dipahami dengan logika. Meski menyadari hubungan yang dijalin bakal terhadang larangan pernikahan beda agama yang diatur di UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia. Namun tak sedikit pasangan beda agama yang memutuskan melanjutkan hubungan asmaranya. Hingga akhirnya harus dihadapkan pada dilema pelik saat ingin menikah. Pilihan yang tersedia adalah salah satu pihak berpindah agama mengikuti yang lain atau harus mengambil pilihan berat mengakhiri hubungan yang sudah terjalin lama.
Hal yang sama dialami Ramos Petage seorang warga Mapia Tengah, Dogiyai, Papua dan kekasihnya. Ramos yang beragama Katolik dan sang pujaan hati yang merupakan gadis Muslim telah merajut asmara selama kurang lebih tiga tahun. Keduanya kemudian memutuskan ingin menikah. Tetapi Ramos dan sang kekasih harus menerima kenyataan, mereka tak bisa mewujudkan keinginannya karena terbentur larangan pernikahan beda agama yang diatur di UU Perkawinan.
Ramos Petage akhirnya mengajukan judicial review terhadap pasal larangan pernikahan beda agama yang ada di UU Perkawinan.
"Menyatakan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan tidak dapat dan tidak memiliki pengaturan terhadap perkawinan beda agama sehingga perlu menambahkan pengaturannya," demikian bunyi salinan permohonan Ramos Petage yang dilansir MK, Senin (7/1/2022).
Yaitu menjadi:
Pasal 2 ayat 1:
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai dan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 2 ayat 2:
Perkawinan dengan berbeda agama dan kepercayaan dapat dilakukan dengan memilih salah satu metode pelaksanaan berdasarkan pada kehendak bebas oleh para mempelai dengan pengukuhan kembali di muka pengadilan.
Pasal 2 ayat 3:
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Ketidakpastian tersebut secara actual telah melanggar hak-hak konstitusional yang dimiliki pemohon sehingga tidak dapat melangsungkan perkawinannya karena adanya intervensi oleh golongan yang diakomodir negara," tutur Ramos Petage.
Menurut Ramos Petage, Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD 1945. Sebab, kata Ramos Petage, negara tidak mencampuri urusan ibadah agama atau kepercayaan yang ada di Indonesia akan tetapi menjamin keberlangsungan peribadatan tersebut dapat terlaksana dan terpenuhi dengan baik.
"Perkawinan yang dilangsungkan secara beda agama tetap berlandaskan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilaksanakan melalui ketentuan agama dan kepercayaan yang dianut oleh masing-masing calon pasangan sebagai suatu hak asasi manusia yang bersifat adikodrati dan merupakan hak privat antara individu dengan Tuhan Yang Maha Esa," beber Ramos Petage.
Selain itu, Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan juga dinilai bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), utamanya Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan sebagai berikut:
Pasal 10
(1) Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kehendak bebas" adalah kehendak yang lahir dari niat yang suci tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan apapun dan dari siapapun terhadap calon suami dan atau calon isteri.
"Berdasarkan ketentuan Pasal 10 UU HAM tersebut secara jelas menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dilangsungkan dengan adanya kehendak bebas (tanpa paksaan, penipuan, atau tekanan dari pihak manapun) dari calon pasangan, oleh karena itu, sejatinya perkawinan (beda agama) merupakan bagian dari hak kodrati yang melekat pada diri seseorang yang tidak dapat dipaksakan oleh negara melalui perangkat hukum yang dibentuknya dan terhadap Pasal 2 ayat (1) dalam perkara a quo bahwa perkawinan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu seharusnya dimaknai sebagai pilihan bagi calon pasangan yang akan melangsungkan perkawinan beda agama untuk menentukan secara bebas akan tunduk pada hukum agama dan kepercayaannya tertentu dalam melangsungkan perkawinannya," urai Ramos Petage.
Permohonan judicial review itu didaftarkan secara online dan kini diproses di kepaniteraan MK. Ramos Petage memberikan kuasa kepada Ni Komang Tari Padmawati, Hans Poliman, Alya Fakhira, Dixon Sanjaya, Asima Romian Angelina, Ramadhini Silfi Adisty, Sherly Angelina Chandra dan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak.
Ditolak
Gugatan terhadap larangan pernikahan beda agama yang diatur UU Perkawinan juga pernah diajukan pada 2015 silam.
Hasilnya, MK menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
MK menolak pernikahan beda agama dengan alasan perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia. Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan.
"Suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama atau kepercayaannya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan," urai MK.
Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir tersebut merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat, sedangkan sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.
"Bahwa ikatan lahir dan batin dalam sebuah perkawinan juga merupakan bentuk pernyataan secara tegas bahwa seorang pria dan seorang wanita ingin membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa," papar MK.
Selain itu, kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itu, agama menjadi landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam hal perkawinan.
Negara juga berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan perkawinan. Secara khusus, negara berperan untuk memberikan perlindungan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah yang merupakan wujud dan jaminan keberlangsungan hidup manusia.
"Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan Undang-Undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara," tegas MK. (dari berbagai sumber)




Sahabat
Ntvnews
Teknospace
HealthPedia
Jurnalmu
Kamutau
Okedeh