Ombudsman Ungkap Maladministrasi Pengelolaan Minyak Goreng oleh Pemerintah, Seperti Apa?

Ombudsman Ungkap Maladministrasi Pengelolaan Minyak Goreng oleh Pemerintah, Seperti Apa?

Nusantaratv.com - 16 September 2022

Ilustrasi. (Net)
Ilustrasi. (Net)

Penulis: Mochammad Rizki

Nusantaratv.com - Ombudsman RI mengeluarkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) perihal praktik maladministrasi dalam penyediaan serta stabilisasi harga minyak goreng. Pada proses pemeriksaan, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika membocorkan adanya tindakan tidak sesuai kaidah dalam tata kelola minyak goreng yang dilakukan oleh pemerintah.  
 
"Satu, dari tidak prudent-nya dalam mengeluarkan kebijakan. Kebijakan itu intinya tidak didahului ataupun disertai dengan kajian yang komprehensif. Tidak disertai dengan kemampuan untuk memitigasi risiko. Dampaknya bagaimana ke depan, awal mulanya di sini, kebijakan," ujar Yeka di kantornya, Jakarta, Selasa (13/9/2022).
 
Lalu kedua, kata dia, tindak maladministrasi ini didapati dari kebijakan pemerintah menempatkan pelaku usaha sawit serta minyak goreng dalam proses stabilisasi harga. Yeka menilai, hal itu cenderung belum sesuai dengan aturan perundang-undangan. 
 
"Nah, ini kan pelaku usaha dimasukkan di sana. Sebetulnya itu kurang pas, enggak boleh. Makanya (harga eceran tertinggi) HET tidak pernah terwujud. Nah, siapa yang harus melakukan penugasan itu? Harus instrumen pemerintah," jelasnya. 
 
"Siapa? Ya BUMN. Enggak bisa penugasan itu dilaksanakan oleh swasta. Itu pada intinya," imbuhnya. 
 
Lalu, Ombudsman RI juga mengkaji Peraturan Menteri Keuangan (PMK) perihal bea keluar. Menurut Yeka, regulasi tersebut dibuat tak hati-hati, karena pengenaan pajak minyak sawit mentah (CPO) yang tinggi kala harga dunia turun.  
 
"Dulu bea keluar misalnya USD 200, tapi harga rata-rata dunia USD 1.750 per ton, harga referensi USD 1.250 per ton, ada insentif di situ. Tapi begitu ada regulasi yang baru nomor 98, pajaknya ditingkatkan jadi USD 288, harga referensinya USD 1.500, harga real-nya USD 1.400. Ya disinsentif, orang enggak mau ekspor, rugi dia ekspor, kan pajaknya tinggi," jelas dia. 
 
Melalui LAHP tersebut, Ombudsman memberi waktu 60 hari kepada sejumlah instansi terkait, misalnya Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan, guna memberi jawaban. Tak harus segera dilaksanakan, sebab penyusunan regulasi juga membutuhkan waktu. 
 
"Oleh karena itu, yang paling penting rencana aksinya harus ada. Tetapi nanti kami tentunya akan breakdown, mana yang bisa dilakukan dengan cepat, itu harus dilakukan. Oleh karena itu, 30 hari ke depan kita akan lakukan monitoring, kita akan datang ke semuanya," tandasnya. 

Dapatkan update berita pilihan terkini di nusantaratv.com. Download aplikasi nusantaratv.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat melalui:



0

x|close