Nusantaratv.com-Kebijakan tarif resprokal yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap ratusan negara mitra dagangnya termasuk Indonesia yang dikenakan 32% telah membuat dunia kelimpungan. Banyak negara langsung mengajukan negoisasi kepada AS
Dalam perkembangannya Donald Trump menunda dan memberi waktu 90 hari untuk negosiasi lebih lanjut. Namun kebijakan itu menimbulkan perang dagang antara China dan Amerika.
"Kelihatannya kalau bahasa anak daul sekarang, China itu ya lu jual, gua beli," kata Presiden Direktur Nusantara TV, Don Bosco Selamun saat menyampaikan Wellcoming Remark dalam forum diskusi ekonomi NTV Insight di Nusantara Ballroom NT Tower, Jakarta, Rabu (30/4/2025). Hadir juga Presiden Komisaris NT Corp Nurdin Tampubolon dan Direksi Tommy William Tampubolon.
"Jadi itu yang kita lihat dan kalau kedua-duanya betul-betul berantem, dunia kita itu pilek berat. Amerika maupun Cina kalau berantem dengan perang tarif, ini dunia kita akan pilek berat dan batuk-batuk. Jadi kita berharap kita akan mendapatkan gambaran penyelesaian atau paling tidak dengan berkumpul kita di sini, kita akan dapatkan gambaran dan gagasan," imbuhnya.
Selain menimbulkan gonjang-ganjing, kata Don Bosco, tarif Trump juga telah membuat Organisasi Dagang Dunia (WTO) 'pingsan' karena banyak negara sekarang lebih memilih pendekatan bilateral untuk nego dengan AS.
"Begitu Donald Trump melakukan langkah bikin tarif yang kemarin itu, maka semua urusan multilateral bisa berubah menjadi bilateral. Dan itu betapa capeknya kita melakukan negosiasi-negosiasi seperti ini," ungkap Don Bosco.
Menurut Don Bosco, untuk Indonesia jelas ini sangat berpengaruh walaupun impor ke AS hanya 14% dari total ekspor RI.
"Yang menjadi persoalan adalah ketika tarif itu nanti akan dipasang dan berlaku, kita akan kesulitan. Entah industri tekstil, kemudian alas kaki, lalu kemudian sawit, dan seterusnya itu akan berpengaruh. Dan pada akhirnya akan berpengaruh pada ekstensi perusahaan dan gilirannya adalah soal tenaga kerja. Ini membuat kita semua pusing," ujarnya.
Don Bosco berharap NTV Insight 2025 bisa menjadi forum untuk saling bertukar gagasan untuk merumuskan langkah-langkah terbaik menghadapi pemberlakuan tarif resiprokal AS.
"Pertama akan menjadi kebijakan editorial NTV untuk melihat perspektif ini ke depan. Kemudian yang kedua tentu kita akan menyampaikan itu ke publik supaya pemerintah juga mendengar pikiran-pikiran ini. Dan saya sangat yakin orang atau teman-teman atau bapak ibu yang menyampaikan gagasan atau pikiran adalah orang-orang yang bermain di lapangan," kata Don Bosco.
"Jadi tidak hanya omon-omon gitu. Jadi orang yang betul-betul berkecimpung di lapangan, berkeringat di lapangan dan mengalami situasi ini secara langsung. Baik sebagai eksportir maupun sebagai importer, khususnya yang terhubung dengan Amerika," imbuhnya.
Ia meyakini forum NTV Insight ini akan sangat produktif, akan sangat berguna, dan akan sangat insightful.
Don Bosco pun menyampaikan terimakasih kepada para narasumber dan para undangan yang hadir.
"Terima kasih kepada Bapak dan Ibu yang hadir dan teramat khusus terima kasih kepada kami punya Founder dan Presiden Komisaris Bapak Nurdin Tampubolon yang memungkinkan hal ini bisa berlangsung," pungkasnya.
Dalam forum ini hadir sejumlah pembicara, dari kalangan pelaku usaha, asosiasi industri, ekonom, dan pembuat kebijakan untuk membahas sejumlah isu utama tersebut. Nusantara TV turut mengundang Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti Widya Putri.
Dari asosiasi industri hadir Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia Benny Soetrisno, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Eddy Martono, dan Wakil Ketua Umum Bidang Peternakan Kadin Indonesia Cecep Muhammad Wahyudin. Turut hadir pula CEO Oxytane Mitra Indonesia Syofi Raharja, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Heru Tri Widarto, dan Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha dan Pengolahan Daging Indonesia Teguh Boediyana. Ada pula Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira dan ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal.




Sahabat
Ntvnews
Teknospace
HealthPedia
Jurnalmu
Kamutau
Okedeh